Selasa, 27 Juli 2010

http://www.onemanga.com/Hana_Yori_Dango
buat kalian yang suka BBF n meteor garden!
lama tak pernah menyapa para blogger,,,
gwa ada kok cuman malas aja nulis di blog,,,
tapi pada akhirnya aku memutuskan ya, kalian cukup yang terbaiklah buat privasi gw!

Jumat, 13 November 2009

berharap bisa jalan seimbang malah tapi malah lepas dua-duanya. sialll....!!!

guwa ngorbanin kesempatan gua pergi malili. jarang bisa ada kesempatan kesana, dan Identitas ngasih kesempatan kesana walaupun untuk kegiatan Diklat Abu-abu. senengnya bisa tahu klo kita anak magang identitas juga diajak kesana! 3 hari sebelum hari H gw dah nyiapin barang untuk kesana.

Minggu, 27 September 2009

habis lebaran!!

lebaran 20 september 2009

mudik tanggal 18 september 2009, ya, walaupun tanpa baju baru, za rasa liburanku kali ini cukup menyenangkan karena harus melihat ibuku stress berat karena diklat sertifikasi senin 28 september nanti walaipin begitu. ibu, semangat dan jangan pantang mnyerah, aku anakmu disini mendukungmu!!! chayaoooo!!

Senin, 10 Agustus 2009

kenapa saya suka KIM BUM

gak tau kenapa setiap dia tersenyum padaku. aku harus menahan nafas!!! dan aku harus menahan ludahku di tenggorolkan dan membuat jantungku sesak dan ingin lepas dari tubuhku.perasaan yang indah dan membuatku sulit melupakanya. apakah ini cinta??

BHP, Penindasan Struktural Pendidikan

Masalah pendidikan memang urgen bagi suatu Negara. Kualitas suatu Negara di masa depan ditentukan oleh kualitas pendidikan masa kini. Namun, masalah pendidikan di Negara Indonesia tidak pernah ada habisnya. Pencanangan wajib belajar 9 tahun belum rampung muncul lagi program sekolah gratis. Belum lagi masalah infrastruktur yang belum ditangani oleh pemerintah.

Alasan financial menjadi alasan utama terbengkalainya program pemerintah tersebut. Menurut UUD 1945 BAB VII pasal 31 ayat 4 berbunyi: “Negara memprioritskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan pendapatan dan belanja Negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” Sedangkan pada rapat paripurna DPR RI 9 oktober 2008 lalu, menetapkan alokasi anggaran pendidikan hanya sebesar 12%. Itupun sudah termasuk gaji pendidik dan biaya kedinasan yang seharusnya di pisahkan karena memiliki aturan tersendiri. Hal ini berdasar pada UU No 20 tentang Sisdiknas pasal 49 ayat 1 yang berbunyi “Dana Pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD”. Masalah ini sangat disayangkan oleh Asri Abdullah. “Sebenarnya kita punya uang. Cuma pemerintah yang tidak serius melihat dunia pendidikan. Katanya, 20% sudah terealisasi. Tapi itu merupakan kebohongan publik yang dilakukan oleh pemerintah. Karena dalam realisasi penyelenggaraan pendidikan untuk gaji pendidik itu tidak masuk. Sementara ada UU khusus dan anggaran khusus untuk itu.” Ungkap ketua UKPM UH ini.

Saat ini kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. HDI Indonesia berada di peringkat 110 dunia bahkan hanya berada di peringkat 6 ASEAN. Inilah yang menjadi sorotan sehingga pemerintah membuat kebijakan kontroversial bagi dunia pendidikan Indonesia dengan mengesahkan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada tanggal 17 Desember 2008. UU BHP yang juga merupakan implementasi dari UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 53 ayat (1) yang berbunyi: “penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan”ini, tak pelak menuai banyak protes.

Menurut Ajiz, salah satu aktivis mahasiswa, ”BHP menghalalkan modal asing ke dunia pendidikan yang merupakan lahan subur bagi dunia ekonomi.” Asri Abdullah juga membenarkan hal tersebut, “Spirit dari BHP adalah membiarkan Perguruan Tinggi atau sekolah-sekolah di Indonesia untuk mengelola dunia pendidikannya secara mandiri melibatkan investor asing, masyarakat, pemilik modal, dan perusahaan. Jadi anggaran pendidikan dari pemerintah sedikitmi karena adami yang uruski. Jadi arah pendidikannya ditentukan oleh orang-orang yang menanamkan modalnya ke dunia pendidikan. Padahal kebijakan tersebut seharusnya tanggung jawab pemerintah.”

Praktek otonomi kampus yang pada mulanya berbentuk BHMN ini lahir dari PP nomor 60 dan 61 tahun 1999 yang di uji coba di 4 universitas tertinggi di Indonesia yaitu UI, UGM, IPB, dan ITB mulai tahun 2000 kemudian disusul oleh dua universitas lainnya pada tahun 2004 yaitu UPI dan USU. Aturan ini juga memberi peluang kepada masyarakat untuk terlibat dalam dunia pendidikan. Hal ini berdasar pada pasal 4 ayat 2 dalam UU tersebut yang berbunyi: “salah satu prinsip dari pengelolaan pendidikan formal oleh Badan Hukum Pendidikan adalah Otonomi, yaitu kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mendiri dalam bidang akademik maupun non akademik.” Ini berarti bahwa BHP diberi keleluasaan dalam hal kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non akademik. Satuan pendidikan bebas melakukan kebijakan scara mendiri membentuk otonomi yang diinginkan dan melibatkan masyarakat sesuai dengan pasal 53 UU Sisdiknas No.20 tahun 2003. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai batas keterlibatan masyarakat ataupun kalangan masyarakat seperti apa yang dapat terlibat dalam pendidikan dalam UU BHP tersebut.

Ironisnya, setiap satuan pendidikan kemudian bukan lagi menjadi tanggung jawab pemerintah seutuhnya tapi berbagi pada masyarakat luas dalam mekanisme pasar. Sehingga setiap satuan pendidikan tersebut tidak bergantung lagi pada negara. Pemerintah memberikan hak seluas-luasnya kepada setiap satuan pendidikan untuk menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya. Inilah privatisasi pendidikan yang justru membuka lahan baru dunia koruptor.

Pada UU BHP pasal 41 ayat 6 yang berbunyi: “Pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit seperdua (1/2) biaya operasional, pada BHPP yang meyelenggarakan pendidikan tinggi.” Ini adalah bukti lepas tanggung jawabnya pemerintah. Biaya operasional yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah seutuhnya malah hanya menjadi setengah. Namun, apakah hal ini telah sesuai dengan amanah UUD 1945 pasal 31 ayat 2 yang berbunyi “pemerintah mengusahakan dan meyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang”?

“BHP membuat pemerintah lepas tanggung jawab terhadap pendidikan sedangkan jelas dalam UU pasal 31 adalah tanggung jawab negara. Karena pentingnya dunia pendidikan sebagai pencetak orang-orang yang akan mencetak atau membentuk pemimpin bangsa. Pendidikan harus dipegang oleh negara karena ini adalah sektor paling menentukan arah bangsa ini ke depan.” Ujar Asri Abdullah.

Namun hal ini di bantah oleh Tim Implementasi BHP Unhas yang diwakili oleh Yusrin Sanusi Baso, “Wah, sudah sangat jelas diatur dalam pasal 41 di Undang-Undang BHP ini bahwa pemerintah menanggung paling sedikit 50% dari biaya operasional. Dan bisa jadi melebihi karena itu adalah angka minimal. Jadi tidak benat itu kalau pemerintah lepas tanggung jawab” Ungkap Dosen FIB ini.

Selain ditanggung oleh pemerintah, mahasiswa sebagai objek pendidikan juga menanggung 1/3 dari biaya operasional. Pasal 41 ayat 9 mengatakan bahwa biaya yang ditanggung seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tingginpaling banyak sepertiga dari biaya operasional. Jika digrafikkan maka laju perkembangan perkembangan universitas ingin disejalankan dengan laju perkembangan biaya operasional yang akan ditanggung oleh peserta didik. Padahal, laju perkembangan perguruan tinggi nantinya jika di-BHP-kan tidak bisa disamakan dengan laju perkembangan keuangan peserta didik. Perguruan tinggi yang di-BHP-kan akan berjalan maju ke depan meninggalkan perkembangan ekonomi masyarakat. Apalagi jika setiap satuan pendidikan membuka peluang dengan investor asing. Maka setiap satuan pendidikan akan maju ke depan meninggalkan masyarakat berekonomi lemah dan berjalan lambat. Pada periode 1980-2005, Indonesia hanya mencatat kenaikan income per capita sekitar 4,5 kali. (seputarekonomi.blogspot.com)

Menurut Boediono, keberhasilan tingkat demokrasi di sebuah negara sangat tergantung pada tingkat ekonominya. Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita sebuah negara maka akan semakin besar peluang keberhasilan demokrasi di negara tersebut. Batas aman untuk berhasilnya demokrasi adalah pada tingkat pendapatan per kapita US$ 6600. Jadi dengan tingkat pendapatan per kapita Indonesia saat ini, yang diperkirakan sekitar US$ 4.000 (dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) – dolar tahun 2001), Indonesia masih berada pada tahap kritis keberhasilan demokasi.( www.kadin-indonesia.or.id)

Maka, semakin jauhlah tangan-tangan masyarakat berekonomi lemah mengenyam pendidikan. “UU BHP adalah penidasan struktural karena dia adalah konsep atau aturan yang yang dilahirkan oleh pemerintah untuk menghalangi semua orang untuk mendapatkan pendidikan.” Ungkap Asri Abdullah.

Bantahan datang dari pihak rektorat dan membeberkan pasal … yang berbunyi:… “di dalam undang-undang ini sangat jelas mengatur bahwa setiap Perguruan Tinggi wajib menyediakan minimal 20% kuota untuk peserta didik yang tidak mampu. Tidak mampu dalam artian, potensi akademik yang baik dan potensi ekonomis yang lemah. Logikanya, jika seluruh Perguruan Tinggi yang berbadan hokum pendidikan, baik negeri maupun swasta mengalokasikan masing-masing 20% kuota penerimaan mahasiswa barunya, lihat betapa banyaknya peserta didik yang berekonomi lemah yang dapat mengenyam pendidikan tinggi, dibanding saat sekarang yang hanya menitikberatan pada hasil tes akademik.”

Anwar Arifin pun menyebar info ini melalui sms yang berbunyi: “Adinda, RUU BHP yang terkhir sungguh berpihak kepada mahasiswa miskin, bahkan bias tidak bayar sampai S3. ‘Mahasiswa bayar sesuai penghasilan orang tua/dirinya/yang menanggungnya’. ‘Paling kurang 20% mahasiswa miskin hatus ada di perguruan tinggi dan peroleh biaya dari negara’. Baru kamis yang lalu mendiknas setujui. Demi kepentingan rakyat yang miskin, BHP sangat penting. Tak ada lagi ‘pemerasan’ pada mahasiswa seperti yang terjadi pada BHMN/BLU.

“Bisa tidak bayar sampai S3, pertanyaanya siapa yang membayarkan? Kalaupun dia bahasakan bisa tidak membayar, bisa jadi itu sebuah ambigu yang bisa membayar dan membayar. Kemudian, kenapa hanya 20% mahasiswa miskin, itu pun diukur dari tingkat kecerdasannya.” Sanggah Adiyatma menentang kebijakan tersebut.

Lalu bagaimana nasib generasi yang tersisihkan oleh seleksi standarisasi tersebut. Apakah ini telah sesuai dengan amanah UUD 1945?